Edukasi hukum ini dibuat semata mata untuk pengetahuan, tidak dimaksud untuk pihak pihak tertentu, edukasi ini dibuat jika hal hal ini terjadi diwilayah anda.
Sebagai praktisi hukum, kami sampaikan bahwa secara prinsip, pemilihan Ketua RW adalah bagian dari pelaksanaan asas demokrasi di tingkat paling dasar dalam sistem pemerintahan Indonesia, yaitu pemerintahan desa/kelurahan. Meskipun pemilihan RW tidak secara spesifik diatur dalam undang-undang nasional, namun biasanya diatur melalui Peraturan Daerah (Perda) atau Peraturan Desa/Lurah yang merujuk pada prinsip-prinsip partisipasi, transparansi, dan keadilan.
Pandangan Hukum dan Prosedural:
• Asas Keterwakilan dan Partisipasi Warga:
• Dalam proses pemilihan Ketua RW, seluruh warga yang termasuk dalam wilayah RW tersebut memiliki hak untuk ikut serta, baik sebagai calon maupun sebagai pemilih.
• Kepanitiaan seharusnya melibatkan keterwakilan seluruh elemen warga, bukan hanya dari satu kelompok atau kubu tertentu.
• Pelanggaran Prinsip Demokrasi Lokal:
• Jika kepanitiaan diduga dibentuk hanya oleh satu kubu atau kelompok mayoritas tertentu tanpa melibatkan warga lainnya, atau tanpa sosialisasi menyeluruh, hal ini berpotensi melanggar asas netralitas dan keadilan, sehingga hasil pemilihan dapat dipertanyakan legitimasi dan keabsahannya.
• Dalam hukum administrasi negara, prosedur yang tidak sah atau cacat dapat mengakibatkan hasil keputusan dianggap batal demi hukum jika terbukti melanggar tata cara yang seharusnya.
• Sosialisasi Wajib:
• Jika Kurangnya sosialisasi kepada warga terkait pemilihan RW menandakan proses yang tidak transparan dan berpotensi melanggar hak warga dalam menentukan pemimpinnya.
• Jika itu terjadi maka Rekomendasi kami:
• Sebaiknya dilakukan evaluasi ulang oleh pihak Kelurahan atau Desa, karena mereka berwenang mengawasi proses pemilihan RT/RW.
• Jika ada indikasi keberpihakan atau manipulasi kepanitiaan, maka dapat diminta pembentukan ulang panitia pemilihan secara adil dan terbuka.
• Dasar Hukum Terkait:
• UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
• Permendagri No. 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa
• Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten terkait lembaga kemasyarakatan (bila tersedia)
—
Netralitas RT atau RW
Secara hukum dan etika pemerintahan lokal, jika tindakan seorang Ketua RT yang secara terang-terangan atau sengaja mendukung dengan mengkampanyekan salah satu calon RW dapat dipandang sebagai pelanggaran netralitas dan etika jabatan. Berikut pandangan hukum dan solusinya:
1. Netralitas Ketua RT:
Ketua RT adalah bagian dari struktur lembaga kemasyarakatan yang berfungsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah desa atau kelurahan. Oleh karena itu, Ketua RT wajib bersikap netral di semua bidang baik dalam pemilihan umum atau Ketua RW dan lainnya untuk menjaga kepercayaan seluruh warga.
Dasar Hukum:
• Permendagri No. 18 Tahun 2018 Pasal 3 huruf (c): menyebutkan bahwa lembaga kemasyarakatan desa/kelurahan bertujuan “membantu pemerintah desa dalam meningkatkan partisipasi masyarakat”.
• Jika Ketua RT yang bertindak tidak netral berpotensi menyalahgunakan wewenang (maladministrasi) karena mencampuradukkan peran sebagai pejabat lingkungan dengan kepentingan politik lokal.
2. Potensi Pelanggaran Etika dan Sosial:
• Tindakan jika diduga dilakukan kampanye aktif oleh Ketua RT dapat menciptakan ketegangan sosial, diskriminasi terselubung, dan membelah warga menjadi kelompok pro-kontra.
• Ini berpotensi mencederai prinsip keadilan dalam kontestasi pemilihan RW.
3. Jika itu terjadi maka Solusi dan Tindakan yang Bisa Diambil:
Langkah Non-Litigasi:
• Warga atau tokoh masyarakat dapat melayangkan surat keberatan atau pengaduan kepada Ketua RW/Kelurahan agar Ketua RT tersebut ditegur secara administratif.
• Meminta klarifikasi dan mediasi terbuka agar semua pihak menjaga netralitas hingga hari pemilihan.
Langkah langkah Administratif:
• Jika terbukti pelanggaran terus dilakukan, maka warga dapat:
• Melaporkan ke Lurah/Kepala Desa dengan bukti yang cukup (rekaman, saksi, selebaran kampanye, dll).
• Meminta Ketua RT dinonaktifkan sementara dari panitia ( jika panitia ) atau dilarang terlibat aktif dalam proses pemilihan.
Perlu dicatat:
Secara hukum, Ketua RT tidak dilarang memiliki pilihan pribadi. Namun ketika menyalahgunakan posisinya untuk mempengaruhi pemilih secara aktif, itu melampaui batas netralitas dan etika jabatan. Oleh karena itu, saran terbaik adalah mendorong penyelesaian secara prosedural melalui Kelurahan dan forum warga.
——
Jika Sosialisasi Minim dan diduga Tidak Transparan
Bagaimana jika Ada temuan lain terkait DPT, didalam sosialisasi pemilihan diduga tidak tegas dari awal dalam hal ini yang ber KTP setempat dan tidak?
—
Pandangan hukum ini sangat krusial dan patut mendapatkan perhatian serius karena menyangkut hak pilih, integritas pemilihan, dan asas keadilan prosedural. Dalam konteks hukum administrasi dan tata pemerintahan lokal, persoalan ini menyentuh dua aspek utama:
1. Kepastian Hukum dan Kejelasan Aturan DPT (Daftar Pemilih Tetap):
Dalam prinsip hukum administrasi, setiap proses harus mematuhi asas:
• Legalitas: sesuai dengan aturan yang berlaku
• Transparansi dan konsistensi: tidak boleh berubah-ubah
• Kepastian hukum: agar warga tidak dirugikan atau diperlakukan diskriminatif
Jika pada awalnya diumumkan hanya pemilik KTP setempat yang bisa memilih , lalu diubah hari ha tanpa sosialisasi dari jauh hari sebelumnya tanpa aturan yang jelas dan jika ditemukan fakta diduga non KTP setempat boleh memilih, maka itu dapat melanggar asas kepastian hukum dan transparansi. Hal ini dapat dianggap sebagai bentuk:
• Maladministrasi, yaitu penyimpangan dari prosedur yang merugikan warga.
• Pelanggaran kepercayaan publik karena adanya perubahan syarat DPT secara tiba-tiba tanpa kepastian aturan.
2. Jika itu terjadi Potensi Dugaan Pelanggaran Terstruktur:
Jika:
• Perubahan syarat pemilih dilakukan pada saat hari pemungutan suara,
• Tidak ada berita acara resmi atau sosialisasi sebelumnya,
• Ada kelompok tertentu yang diuntungkan oleh perubahan tersebut,
Maka itu berpotensi sebagai dugaan kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam skala lokal.
Hal ini bisa melahirkan gugatan administratif ke tingkat Kelurahan atau bahkan ke Kecamatan, dan meminta:
• Evaluasi ulang hasil pemilihan
• Penyelidikan internal oleh Kelurahan
• Pembentukan ulang panitia dan pemilihan ulang jika terbukti terjadi pelanggaran berat
Pandangan Yuridis:
Walau Tidak ada aturan nasional spesifik yang mengatur DPT RW secara baku, namun pemilihan RW harus taat hukum dan tetap tunduk pada prinsip-prinsip umum hukum pemerintahan dan Permendagri No. 18 Tahun 2018. Jika peraturan teknis belum tersedia, maka yang digunakan adalah prinsip:
“Lex certa, lex justa, lex praevisa” — hukum harus pasti, adil, dan dapat diprediksi.
Jika Mengubah ketentuan DPT tanpa dasar dan tanpa sosialisasi dengan aguran yang pasti adalah cacat prosedural.
Apabila hal ini terjadi apa yang dapat warga lakukan:
• Kumpulkan bukti dokumenter:
• Pengumuman awal, bukti sosialisasi, rekaman sesi tanya jawab, hasil pemungutan suara.
• Ajukan surat keberatan atau protes resmi ke Lurah, tembusan Camat dan BPD (jika ada), dengan permintaan:
• Evaluasi panitia pemilihan
• Audit terhadap DPT dan hasil suara
• Potensi pemilihan ulang ( jika dkperlukan )
• Usulkan pembentukan panitia baru yang netral dan melibatkan semua unsur warga.
—
Jika diduga ada Manipulasi kecurangan prinsip jujur dan adil, kemurnian demokrasi!
1. Larangan Politik Uang dan atau Pendekatan Tidak Sehat baik oleh Tim Sukses atau Calon itu sendiri
Dasar Masalah:
Jika Ditemukan indikasi bahwa tim sukses atau Calon kandidat dari salah satu calon secara masif dan sistematis melakukan pendekatan, memberikan uang, atau bantuan berupa barang atau iming-iming kepada warga dengan tujuan mepengaruhi pilihan dalam pemilihan umum atau RW.
Implikasi Hukum dan Sosial:
• Tindakan ini termasuk praktik politik uang (money politics) yang secara prinsip merusak netralitas, kejujuran, dan keadilan dalam demokrasi lokal.
• Walau pemilihan RW tidak tunduk pada aturan KPU, prinsip pemilu yang jujur dan adil (jurdil) tetap harus ditegakkan dalam setiap bentuk kontestasi publik.
Dasar Hukum:
• UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, meskipun tidak langsung berlaku, namun memberi rujukan moral tentang larangan pemberian uang/barang untuk memengaruhi pemilih.
• Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB): melarang penyalahgunaan kekuasaan dan pengaruh.
• Jika dilakukan secara sistematis, bisa termasuk dalam dugaan pelanggaran terstruktur dan masif di tingkat lokal.
2. Jika diduga Pelaku Adalah Panitia Pemilihan
Sumber Masalah:
Tindakan manipulatif dan tidak netral dilakukan oleh anggota panitia inti (seperti ketua, sekretaris, bendahara dan atau lainnya) yang seharusnya menjadi penjamin keadilan pemilihan.
Implikasi Hukum:
• Ini adalah bentuk pelanggaran berat terhadap asas netralitas dan integritas penyelenggara.
• Cacat prosedur yang melibatkan panitia inti dapat menjadi alasan kuat untuk:
• Evaluasi ulang hasil pemilihan
• Pembubaran panitia
• Pemilihan ulang dengan panitia baru yang netral
Dasar Hukum:
• UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan: setiap tindakan penyelenggara yang menyimpang dari kewenangannya bisa dibatalkan.
• UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik: melindungi hak warga untuk mendapatkan layanan publik yang adil dan tidak diskriminatif.
Perlu dipertegas:
Jika diduga pemilihan dilakukan dengan politik uang, atau pemberian benda atau iming-iming atau tekanan, atau manipulasi oleh panitia atau tim sukses calon, maka hasilnya tidak memiliki legitimasi moral dan dapat dibatalkan secara administratif.
—–
Dasar Hukum
Sumber Resmi:
• UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
• Permendagri No. 18 Tahun 2018 tentang LKD
• UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
• UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
• Prinsip Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB)